Iman itu kadang bagaikan DNA. Kemanapun pemiliknya pergi tak akan
berubah. Itulah sekelumit perjalanan hidup Dubes RI Untuk China, Imron
Cotan. Walau sejak kecil hidup di lingkungan non-muslim, iman Islamnya
tak pernah luntur. Tetap istiqomah di jalan Ilahi.
Dubes yang
suka berpakaian rapi ini secara jujur mengatakan bahwa di masa kecil,
kedua orang tuanya tergolong papa dengan 9 anak yang semua memerlukan
gizi dan pendidikan. Oleh karena keadaan itu, mulai masa SMP di awal
1970-an, ia diserahkan kepada keluarga adik ibunya di Sabang yang
berbeda agama dan terpandang di masyarakat.
Rupanya, sang paman
dan tante memperlakukan Imron dengan sangat baik, seperti anaknya
sendiri. Hal yang tidak pernah disentuh keluarga ini adalah soal
keimanan. Imron kecil tetap dibiarkan untuk salat dan mengaji di
pesantren dan madrasah. Bahkan, buku-buku agama juga disediakan dengan
lengkap.
Di sisi lain, Imron kecil bagaikan kakak dari anak-anak
tantenya. Selain menyayangi, ia membantu belajar dan mengantarkan mereka
ke sekolah. Tidak hanya itu, pada saat hari minggu ke gereja, Imron
juga mengantar dan menjemput. Pokoknya, keluar hingga pulang ke rumah
harus selamat.
Uniknya lagi, justru Imron kecillah yang mengajari
"adik-adiknya" tentang bagaimana cara menerima komunikasi yang baik.
Mulai bagaimana menjulurkan lidah hingga menelannya. Tidak hanya itu,
Imron juga pernah main tonil dalam rangka natalan. Biasanya, ia menjadi
tokoh majusi yang tugasnya mencari bintang. "Saking seringnya ke gereja,
saya sampai saat ini masih hafal fasih tata cara dan ucapan ibadah umat
Katolik," ujarnya di sela-sela kesibukannya di Beijing, Jumat
(27/07/2012).
Di sisi lain, meski tinggal di keluarga non-muslim,
Imron mengaku tidak pernah makan barang haram seperti babi. Keluarga
sang tante yang bermarga Siregar itu selalu menyuguhkan makanan halal.
Tidak hanya itu, sampai masa kuliah, Imron mendapat dukungan penuh dari
keluarga tante tanpa harus memberikan konsesi apapun, kecuali saling
mengasihi.
Selepas kuliah dan menjadi diplomat, Imron muda selalu
ditempatkan oleh kantornya di negeri-negeri yang mayoritas
masyarakatnya tidak muslim. Diantaranya tinggal 10 tahun di Jenewa. Kala
itu, tantangan terbesar baginya hanya satu: memberikan pendidikan Islam
yang pas bagi putra putrinya.
Salah satu cara yang ditempuh
untuk menggembleng iman anak-anak yaitu dengan memberi contoh secara
kongkrit. Mulai membaca doa sebelum makan hingga salat berjamaah. Selain
itu, mendatangkan guru ngaji yang tidak hanya mengajarkan Islam secara
teksbook namun memberikan pemahaman secara rasional. Selama dinas di
dalam negeri, anak-anak terus dijejali pengetahuan agama semaksimal
mungkin.
"Anak-anak saya insya Allah masih menjalankan ibadah
dengan baik bahkan diantaranya malah cenderung ketat. Anak pertama di
Sidney kawin dengan muslim Prancis, kedua tinggal di Canberra dan yang
ketiga masih sama saya," katanya.
Sampai saat ini sang Dubes
tetap istiqomah dengan imannya. Islam diaku sebagai DNA-nya. Bahkan di
antara teman-temannya, mantan Sekjen Kemlu ini termasuk orang yang
dianggap patuh agama. Salat lima waktu nyaris tidak bolong, haji
ditunaikan, bahkan umrah dengan keluarga sudah dua kali.
Bagi
Dubes Imron Cotan, Ramadan merupakan momentum tepat bagi peningkatan
silaturahmi di antara staf dan masyarakat Indonesia, khususnya di
Beijing. Karenanya, di KBRI dilaksanakan tarawih setiap hari dengan
kultum secara bergantian. Di akhir puasa, akan diadakan salat Ied dan
silaturahmi.
Dalam pemahaman Pak Dubes ini, Islam itu memiliki
aneka warna yang indah yang tidak perlu diseragamkan, apalagi melalui
pemaksaan. Perbedaan sudah merupakan sunnatullah. Justru hanya dengan
satu warna saja maka akan timbul kejenuhan. Adapun cara terbaik dalam
menyikapi perbedaan adalah berdialog dengan hati dan pikiran yang
terbuka.
"Kalau itu semua bisa dilaksanakan. Bisa jadi, kita ini
adalah khalifatullah fil ardi sebagaimana tercantum dalam kitab suci dan
agama Islam menjadi rahmatan lil alamin," ujarnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar